Sabtu, 16 Oktober 2010

Syarat Moral Calon Kepala Daerah, Moral Versi Siapa

Belakangan ini media massa baik media elektronik maupun media cetak terus menyoroti wacana syarat moral bagi calon kepala daerah yang dilemparkan oleh Menteri dalam Negeri Gamawan Fauzi. Alih-alih untuk merevisi Undang-undang No 32 Tahun 2004 (yang telah diubah sebagian ke dalam Undang-undang No 12 Tahun 2008) namun yang terjadi adalah sebuah kontroversi berujung pertanyaan 'ada apa di balik semua ini?' 

Apalagi wacana ini muncul ketika tersiar kabar keberanian artis seksi Julia Perez dan Maria Eva maju dalam pencalonan kepala daerah di Pacitan dan Sidoarjo. Tak pelak wacana ini oleh sebagian masyarakat dibaca sebagai upaya untuk menjegal seseorang yang secara tidak langsung dinilai "tidak mempunyai moral".

Rencananya syarat ini akan dimasukkan untuk melengkapi pasal 58 ayat l Undang-undang No 32 Tahun 2004 (tidak pernah melakukan perbuatan tercela) yang entah karena hal apa pada Undang-undang No 12 Tahun 2008 dihapus. Mengenai hal ini saya ingin mengemukakan beberapa alasan mengapa syarat moral merupakan syarat yang bias dan terkesan dipaksakan ke dalam syarat menjadi calon kepala daerah.

Pertama, syarat moral. Label dari masyarakat atau label dari pemerintah? Lebih lanjut Gamawan Fauzi mengatakan bahwa syarat moral calon kepala daerah antara lain adalah tidak berjudi, tidak narkoba, dan tidak berzina. Namun, lebih lengkap belum dijelaskan nantinya apakah mantan penjudi, mantan pemakai narkoba, dan mantan pezina yang telah lama meninggalkan kebiasaan buruknya juga terkena syarat ini.

Kemudian, saya berpendapat jika benar seseorang akan menjadi calon kepala daerah tentunya ia harus mengenal betul daerah dan masyarakatnya. Jadi, baiklah kiranya agar semua ini dikembalikan kepada masyarakat yang menilai integritas sang calon dan bukan campur tangan pemerintah melalui undang-undang yang menentukan. Karena, bisa saja dengan syarat ini, isu-isu negatif dari lawan-lawan politik dihembuskan dan pastinya ini tidak akan memberikan pendidikan politik bagi masyarakat pemilih.

Kedua, syarat ini bertentangan dengan pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan, "setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan". Jika benar syarat ini resmi ditetapkan apakah hal ini tidak inkonstitusional? 

Dengan mengandung kalimat "berhak memperoleh kesempatan" dalam pasal tersebut, setidak-tidaknya setiap orang mempunyai hak untuk meraih kesempatan maju sebagai calon kepala daerah. Dengan syarat moral dan takarannya yang belum jelas ini tentu akan membatasi setiap kesempatan tersebut.

Ketiga, syarat moral sebagai isu yang dapat berpotensi menimbulkan politisasi agama. Dalam Kamus Wikipedia berbahasa Inggris, moral diartikan sebagai "a system of conduct and ethics that is virtous. 

"Virtous" diartikan sebagai pertama, berbudi tinggi, menjalani hidup suci, saleh), kata yang tak jauh berbeda ditulis oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mendefinisikan moral sebagai (ajaran tentangh) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. Akhlak, budi pekerti, susila --mereka sudah bejat, mereka hanya minum-minum dan mabuk-mabuk, bermain judi, dan bermain perempuan. Kedua, kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya. Isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dl perbuatan: tentara kita memiliki --dan daya tempur yang tinggi. Ketiga, ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita. 

Dari 2 (dua) pengertian tersebut bisa disimpulkan moral adalah sesuatu prinsip yang dekat kaitannya dengan nilai agama. 

Dengan latar belakang daerah dan masyarakat yang berbeda tentunya kita juga harus bisa melihat terhadap kemungkinan yang akan terjadi ketika syarat ini diterapkan. Taruh saja sebuah contoh ketika ada salah satu bakal calon kepala daerah maju dan karena ada sebuah kepentingan kelompok tertentu syarat ini terus dipermasalahkan. Tak pelak kelompok ini akan mempengaruhi setiap masyarakat yang akan memilih. Atau ketika kepala daerah telah terpilih dan tidak ada yang menjamin bahwa kelak ia akan membuat peraturan daerah (perda) yang diskriminatif hanya karena ia berusaha menyesuaikan perilaku masyarakat dengan standar moral yang ia punya.

Pada akhirnya berhasilnya sebuah pemerintahan daerah tidak hanya bergantung dari kemampuan dan integritas tanpa cacat yang dimiliki kepala daerah sebagai pemimpin. Akan tetapi lebih bermakna apabila seorang pemimpin mau bekerja sama dengan masyarakat dalam membangun daerahnya. 

Masyarakat masih membutuhkan pendidikan politik. Tak hanya sekedar pendidikan mengenai moral. Ia (masyarakat) harus menyadari bahwa sebuah daerah tidak dapat terbangun dengan baik tanpa keikutsertaannya. Syarat moral bagi calon kepala daerah tidak perlu diatur secara tegas dalam revisi undang-undang nantinya.

Yosua Arthur Simanjuntak
Tanjung Sari Asri Antapani Bandung
josh17.arthur@gmail.com
081327042956

Tidak ada komentar: